Sabtu, 19 Mei 2012

My First Book: “Edelweiss Terakhir” – A Long Process

Sudah lama juga blog ini belum bertambah isinya.
Sekitar tiga bulan-an ya?
Hmmmm….. more than enough time to share many stories.

Banyak catatan manis selama tiga bulan ini, baik itu bersama teman-teman Tangan Di Atas, JAWARA dan WAKALA, para penulis hebat, teman-teman almamater (ALSTE, SPEGA, FAST, TELKOM), adik-adik TPQ Al Insyiroh, berbagai komunitas sosial, dan banyak lagi yang lain, terutama bersama keluarga… *kedipkedip*.

Salah satu pencapaian yang cukup luar biasa bagi saya adalah terbitnya buku pertama saya, “EdelweissTerakhir” di Bulan Maret 2012.

Edelweiss Terakhir
Edelweiss Terakhir

Awalnya memang terasa tidak mungkin, meskipun saya sudah mencanangkan niat untuk punya karya yang “beda” dan tetap mendatangkan manfaat sebelum usia “kepala empat” (bukankah sebaik-baik manusia itu adalah yang bermanfaat bagi orang lain, teman?).
Dan Alhamdulillah, ternyata Allah meridhoi niat ini.

Dimulai dari Workshop Kepenulisan yang diadakan oleh 'Best Practice', dilanjutkan dengan membuat komitmen untuk menerbitkan buku, dan mulailah proses menulis itu.
Sebagai pemula, belum banyak hal yang bisa saya tuangkan menjadi sebuah buku yang layak dibaca. Dan berdasarkan ilmu dan referensi yang saya peroleh, ternyata ide yang paling mudah ditulis adalah apa yang sudah ada di dalam diri/benak kita.
Begitulah, proses eksplorasi ide mulai dilakukan, dan terpilihlah salah satu episode dalam kehidupan saya menjadi sumber tulisan: pengalaman berpetualang bersama teman-teman pencinta alam.
Sounds good yah? 

Selama duapuluh delapan hari huruf per huruf disusun menjadi kata, kalimat, paragraf, bab, dan jadilah draft pertama buku “EdelweissTerakhir“.
Selesai?
Beluuuummmm!!

Prosesnya masih saaaangaaaatttt panjaanggg, teman-teman.


Setelah draft pertama selesai, masih harus melalui berkali-kali proses editing.
Kemudian proses penulisan sinopsis, desain cover dan lay out yang–tentu saja–perlu revisi berkali-kali.

Setelah itu dilakukan pendaftaran ke Perpustakaan Nasional untuk memperoleh nomor ISBN (itu lho, nomor dan barcode yang biasa ada di cover belakang buku, biasanya dicantumkan di sebelah kanan bawah).
Setelah lengkap, barulah proses naik cetak dimulai.
Bagaimana dengan urusan promosi dan distribusi?
That’s another process that also requires a lot of energy .

Tetapi dengan bantuan berbagai pihak, Alhamdulillah berbagai tahapan itu dapat dilalui dan akhirnya “EdelweissTerakhir” sudah bisa Anda dapatkan di toko-toko buku terdekat di kota Anda. *PromoMode:On*

Edelweiss Terakhir
Edelweiss Terakhir” di Gramedia – Pondok Indah Mall, Jakarta
Lantas, bagaimana tanggapan pembaca?
Tentu saja, ada (banyak) yang pro dan ada juga yang kontra.
Beberapa teman yang berusaha jujur (setelah dipaksa-paksa, plus diancam. Hahaha… ) memberikan masukan yang–awalnya–terasa sangat “menohok”.

Tapi setelah direnungkan, dihayati, dipikir-pikir ulang, ternyata masukannya itu memang tepat loh!

Oh ya, pada saat berbagai testimoni itu datang bertubi-tubi, saat itu pula muncul berbagai rasa yang menyeruak, kadang bangga, kadang sedih, merasa bodoh, dan aneka rasa lainnya.
Memang, hati manusia itu begitu mudahnya dibolak-balik oleh Sang Pemilik ya .
Tapi tentu saja kita harus belajar mengendalikannya, bukan? Jangan sampai kita menjadi takabur ataupun justru terpuruk oleh kondisi itu.

Pernah dengar cerita tentang seorang tukang emas yang diminta membuatkan cincin oleh seorang raja? Si tukang emas diminta menuliskan sesuatu yang bermanfaat untuk sang raja di dalam cincin itu.
Setelah melalui pemikiran yang panjang, akhirnya dia menuliskan kalimat pendek: “this too, will pass“.

Ya, semua yang kita alami saat ini akan berlalu.
Kegembiraan, kesedihan, keberhasilan, kegagalan, kesombongan, keputusasaan, tidak ada yang abadi. Semuanya akan berlalu.

Tugas kita hanyalah menjalani dengan sebaik-baiknya agar apapun yang terjadi itu memberikan manfaat yang banyak terutama bagi orang lain.

Demikian juga, apapun yang kita miliki saat ini pun akan berlalu: harta, kekayaan, kepandaian, dan semua hal yang kita labeli dengan “AKU” pun tidak akan selamanya menjadi milik kita, karena pada hakikatnya memang bukan kita pemiliknya.
Kita hanyalah peminjam, dan sudah menjadi kewajiban seorang peminjam untuk mengembalikan apapun yang dipinjamnya, sebelum waktu kita habis.



Dari situlah, sebagai salah satu upaya untuk mengembalikan “pinjaman” itu, sebagian dari hasil penjualan buku “Edelweiss Terakhir” ini didedikasikan untuk membantu saudara-saudara kita yang kurang beruntung. Dan Alhamdulillah, setelah mengetahui hal ini ternyata banyak pembaca yang memberikan pembayaran jauh melebihi harga buku sebenarnya, sehingga jumlah yang bisa didonasikan pun semakin bertambah.

Demikianlah sahabat, secuil catatan dari karya pertama yang masih jauh dari sempurna ini.
Terimakasih banyak sudah mendukung buku “Edelweiss Terakhir“, baik melalui pujian, kritikan (untuk mengkritik pun perlu effort membaca lebih dulu kan? hehehe… *AndIAppreciateIt*), saran, donasi, do’a, dan berbagai dukungan teknis lainnya.
Terimakasih pula sudah memberikan saya kesempatan untuk lebih banyak lagi berbagi manfaat.
Doakan saya tetap istiqomah yaa…
“Bukan besar kecilnya tugas yang menjadikan tinggi rendah nilai dirimu.
Jadilah saja dirimu sebaik-baik dirimu sendiri”.
(Quote: “Edelweiss Terakhir” – hal. 18)
Dan, jangan lupa…. “this too, will pass“.




Bekasi, 19 Mei 2012 / 27 Jumadal Akhirah 1433 H.



Related Posts:




Tidak ada komentar:

Posting Komentar